Ads 468x60px

Jumat, 06 April 2012

BATAS MINIMAL USIA NIKAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974


Islam tidak menetapkan usia nikah. Tapi, kemudian kalangan ulama menganggap perlu menetapkannya untuk menjaga nilai perkawinan itu sendiri.
Sayyidah Aisyah RA Ummul Mukminin pernah bercerita tentang perkawinannya. “Aku dinikahkan dengan Rasulullah saat usiaku enam tahun. Dan aku memasuki gerbang rumah tangga pada usia Sembilan tahun”. Dalam hadis lain disebutkan, dinikahkan pada usia tujuh tahun. Pengakuan Sayyidah Aisyah ini serta tradisi perkawinan di kalangan muslim awal menyatakan bahwa perkawinan di masa itu banyak terjadi saat si wanita masih bocah.
Dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah pernah menikahkan anak Hamzah (pamannya) dengan anak Ummu Salimah yang keduanya masih ingusan. Pernah juga seorang memberikan anak puterinya yang masih kanak-kanak untuk dinikahi Abdullah bin AL-Hasan bin Ali yang masih cucu Rasulullah SAW. Sayyidina Ali kala itu mengizinkannya. Salah seorang istri Ibnu Mas’ud yang memiliki anak wanita yang masih kecil juga dinikahkan dengan Ibnul Musayyab bin Nukhbah dan Abdullah bin Mas’ud mengizinkannya.
Manfaat perkawinan dalam usia kecil antara lain orang tua bisa menentukan pasangan yang sesuai dan ideal (kufu). Kekurangannya wanita tak memiliki hak pilih. Ketika tiba masa akil balignya, ia harus menerima kenyataan pasangan yang telah dijodohkan.
Kalangan ahli fikih selanjutnya juga tak mempermasalahkan perkawinan anak-anak itu. Walaupun pada intinya pelaksanaan berumah tangga akan dimulai setelah keduanya telah akil baliug. Dalam pengakuan Sayyidah Aisyah menyiratkan hal demikian. Ia dinikahkan pada saat usia enam tahun yang belum akil balig dan kemudian memadu rumahtangga setelah akil balig pada usia Sembilan tahun.
Kalangan Mazhab Maiki dan Hanbali menyatakan hak ayah untuk menikahkan anaknya meskipun masih dalam usia anak-anak. Jika tak ada ayah, boleh juga dilakukan oleh orang yang menerima wasiat dari ayah, atau hakim yang menikahkan. Mazhab Hanafi memperbolehkan ayah dan kakek dari ayah serta wali-wali lainnya menikahkan. Karena menurut pandangan Mazhab Hanafi tak ada perbedaan persyaratan dalam menikahkan anak. Sementara Imam Syafi’i hanya memperbolehkan menikahkan anak kecil terbatas kepada ayah dan kakeknya saja. Pembatasan perwalia ini agar tidak terjadi kesema-menaan terhadap wanita yang tak berdaya oleh wali-wali lainnya. Sementara ayah pada intinya tidak akan menjerumuskan anak kandungnya. Imam Ibnu Hazm (Mazhab Dzahiri) membolehkan wanita kecil dinikahkan, ia melarang menikahkan laki-laki yang masih kecil.
Namun, bagaimanapun kalangan ahli fikih sepakat bahwa perkawinan anak-anak harus didasarkann pada kufu (seimbang dan ideal) dan mahar mitsil (maskawin standar). Hal ini mengacu pada pendapat Imam Abu Yusuf Muhammad. Smentara Imam Syafi’I menetapka syarat yang lebih luas lagi.
Pertama, antara pengantin laki-laki dan wanita tak memiliki hubungan permusuhan (‘adawah zahirah). Kedua, perjodohan tersebut kufu. Ketiga, maskawin standar. Keemat, maskawin diberikan dengan mata uang negeri (naqdul balad) yang berlaku. Kelima, pengantin laki-laki memiliki kemampuan membayar maskawin. Keenam, pengantin laki-laki tidak cacat tetap yang merugikan pihak wanita, seperti kondisi buta, atau laki-laki tua renta. Ketujuh, pengantin pria tidak dalam kondisi wajib haji namun tertunda.
Yang dikecualikan dalam kasus ini adalah anak kecil yang berstatus yatim. Wanita yatim harus seizing dirinya. Dalam hadis riwayat Imam Akhmad dijelaskan bahwa suatu hari Ibnu Umar melapor kepada Rasulullah SAW bahwa bahwa Qudamah bin Madh’un menikahkan anak Usman yang berstatus yatim dengan dirinya. Rasulullah lantas menjawab: “Dia seorang yatim dan tidak bisa dinikahi tanpa izin dan persetujuannya”. Dalam hadis Abu Daud dan Nasai disebutkan bahwa Rasullah bersabda : “Anak yatim itu menguasai dirinyaa. Jika dia diam maka itu adalah izinnya. Jika ia menolak maka tidak boleh memaksanya”. Dan pengertian yatim dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis Abu Daud dengan sabdanya: “Tidak ada lagi status yatim setelah akil balig”. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Nawawi.
Namun, perkembangan kemudian membuat kalangan ulama pada fase berikutnya mulai menerapkan pandangan lain. Menurut Syaikh Dr. Wahbab Azzuhaily dalam Alfiqhul Islami wa Adillatuhu, Imam Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Usman Al-Batti melarang perkawinan anak-anak kecuali hingga pada usia akil balig. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surah Annisa ayat 5 “Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka cukup umur untuk menikah”.
Sebab, menurut tiga ulama besar fikih ini, jika saja diperbolehkan perkawinan anak kecil toh juga tak ada gunanya. Sebab, anak-anak yang belum usia balig belum membutuhkan perkawinan.
Beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, seperti Indonesia, Mesir dan Syuriah telah menetapkan batas usia perkawinan dengan tujuan maslahah dan kepentingan umum.
Undang-undang perkawinan syuriah misalnya menetapkan dalam Madah (pasal) 15 bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan oleh pasangan yang sudah akil balig dan berakal (tidak gila). Kalangan ahli fikih modern dengan mengacu berbagai hal, memandang perlu membatasi usia perkawinan tidak hanya pada usia balig (sinnur bulugh) tapi, usia kelayakan (sinnur rusyd). Pada pasal 16 UU Syuriah tersebut dijelaskan bahwa usia kelayakan itu adalah 18 tahun bagi laki-laki  engan kalender masehi dan usia kelayakan wanita yaitu 17 tahun.
Tapi, UU itu bukan harga mati. Dalam oasal 18 dijelaskan bahwa jika laki-laki sudah akil balig pada usia 15 tahun dan wanita pada usia 13 tahun kemudian merancang perkawinan, maka perkawinan bisa dilaksanakan jika pengadilan mengizinkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...