Ads 468x60px

Sabtu, 31 Maret 2012

Selagi Kita Diberi Hidup...

 Seperti biasa pulang kerja saya sampai di rumah langsung duduk bersantai sambil melepas penat. Sepertinya saya sangat enggan untuk membersihkan diri dan langsung shalat. Sementara anak-anak dan Suami/Istri sedang berkumpul di ruang tengah. Dalam kelelahan tadi, saya disegarkan dengan adanya angin dingin sepoi-sepoi yang menghembus tepat di muka saya. Selang beberapa lama seorang yang tak tampak mukanya berjubah putih dengan tongkat ditangannya tiba-tiba sudah berdiri di depan saya. Saya sangat kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu. Sebelum sempat bertanya siapa dia, tiba-tiba saya merasa dada saya sesak... sulit untuk bernafas.... namun saya berusaha untuk tetap menghirup udara sebisanya. Yang saya rasakan waktu itu ada sesuatu yang berjalan pelan-pelan dari dada, terus berjalan ke kerongkongan rasanya sakit, sakit sekali rasanya. Keluar airmataku menahan rasa sakitnya,... . Oh Tuhan ! ada apa dengan diriku..... Dalam kondisi yang masih sulit bernafas tadi, benda tadi terus memaksa untuk keluar dari tubuhku... kkhh........ .khhhh... .. kerongkonganku berbunyi. Sakit rasanya, amat teramat sakit. Seolah tak mampu aku menahan benda tadi... Badanku gemetar... peluh keringat mengucur deras.... mataku terbelalak.. ...air mataku seolah tak berhenti. Tangan dan kakiku kejang-kejang sedetik setelah benda itu meninggalkan saya. Saya melihat benda tadi dibawa oleh orang misterius itu... pergi. ..berlalu begitu saja.... hilang dari pandangan. Namun setelah itu.... saya merasa jauh lebih ringan, sehat, segar, cerah... tidak seperti biasanya. Saya heran... Suami/istri dan anak-anak saya yang sedari tadi ada diruang tengah, tiba-tiba terkejut berhamburan ke arah saya.. Di situ saya melihat ada seseorang yang terbujur kaku ada tepat di bawah sofa yang saya duduki tadi. Badannya dingin kulitnya membiru. Siapa dia? Mengapa anak-anak dan istri saya memeluknya sambil menangis... mereka menjerit...histeris terlebih istri saya seolah tak mau melepaskan orang yang terbujur tadi... Siapa dia? Betapa terkejutnya aku ketika wajahnya dibalikkan.. .. dia........dia. ......dia mirip dengan aku....ada apa ini Tuhan...???? ???? Aku mencoba menarik tangan Suamiku/istriku tapi tak mampu..... Aku mencoba merangkul anak2 ku tapi tak bisa. Aku coba jelaskan kalau itu bukan aku. Aku coba jelaskan kalau aku ada di sini.. Aku mulai berteriak... ..tapi mereka seolah tak mendengarkan aku seolah mereka tak melihatku... Dan mereka terus-menerus menangis.... aku sadar..aku sadar bahwa orang misterius tadi telah membawa rohku. Aku telah mati...aku telah mati. Aku telah meninggalkan mereka ..tak kuasa aku menangis.... berteriak. ..... Aku tak kuat melihat mereka menangisi mayatku. Aku sangat sedih.. selama hidupku belum banyak yang kulakukan untuk membahagiakan mereka. Belum banyak yang bisa kulakukan untuk membimbing mereka. Tapi waktuku telah habis....... masaku telah terlewati... . aku sudah tutup usia pada saat aku terduduk di sofa setelah lelah seharian bekerja. Sungguh, jika saja aku tahu aku akan mati, aku akan membagi waktu kapan harus bekerja, beribadah dan untuk keluarga. Aku menyesal aku terlambat menyadarinya. Aku mati dalam keadaan belum ibadah. … Cukuplah maut sebagai pelajaran (guru) dan keyakinan sebagai kekayaan. (HR. Ath-Thabrani) 
Tidak ada sesuatu yang dialami anak Adam dari apa yang diciptakan Allah lebih berat daripada kematian. Baginya kematian lebih ringan daripada apa yang akan dialaminya sesudahnya. (HR. Ahmad)

Kamis, 29 Maret 2012

Perceraian ? Mengapa bisa terjadi..?

Niat dan tujuan yang paling esensial dari menikah adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah dengan jalan mengikuti perintah-Nya dan perintah rosul-Nya, atau niat untuk menjaga kehormatan diri dan agama (khifdzu nafs waddin). Karena dengan menikah, naluri biologis seseorang (ghorizah nau’) dapat tersalurkan dengan semestinya, sehingga bisa terhindar dari berbuat fakhisah (zina), dengan demikian agama dan dirinya menjadi terjaga. Dan masih banyak niat-niat lain yang dapat ditanamkan dalam hati seorang yang hendak menikah, seperti niat menjaga kelangsungan keturunannya (hifdzun nasl).

Perkawinan dapat menumbuhkan manfaat-manfaat seperti terwujudnyanya ketenangan hati (sakinah), rasa kasih sayang (mawaddah wa rohmah), terarahnya ritme kehidupan, peningkatan semangat beribadah dan lain-lain. Manfaat-manfaat seperti ini sulit didapat kecuali dengan menikah, dan hanya bisa diperoleh dari orang yang menjadi pasangan hidupnya, dan tidak mungkin tergantikan oleh orang lain, kendati itu orang tuanya sendiri.

Seorang duda atau janda walaupun mereka bergelimang harta, dalam jiwanya hampir pasti ada perasaan hampa, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, kekosongan, hidup terasa kering dan seakan tanpa makna. Karena tidak ada orang yang memberi support, motifasi, perhatian dan kasih sayang sesuai keinginannya. Dalam Al Quran surat Ar Rum ayat 21 Allah menjelaskan, ”Dan di antara tanda tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu tertarik dan tentram dengannya dan Ia jadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir."

Dari ayat di atas nampak jelas manfaat sebuah perkawinan, yakni sakinah, mawaddah wa rohmah. Oleh sebab itu bila dalam sebuah mahligai perkawinan sudah benar-benar sudah tidak ada rasa cinta kasih dan saling menyayangi, maka lebih baik bercerai (Lihat tafsir showi juz III hal. 302).

Hal ini bisa terjadi karena salah satu manfaat dari perkawinan sudah tidak ada lagi. Dikhawatirkan masing-masing pasangan akan mencari orang lain sebagai pelampiasan ketidakpuasannya. Pendapat ini didukung oleh sebagaian ulama berdasar surat An Nisa ayat 19. Ulama yang menganjurkan bercerai, merujukkan dhomir fiihi pada ayat diatas pada lafadz al firoq (lihat tafsir Ar Rozi juz 5 hal:14), hukum yang demikian ini bila suami benar-benar tidak sanggup menahan kesabaran terhadap kelakuan istrinya. Tetapi bila seorang suami masih sanggup menahan kesabarannya maka yang lebih baik baginya meneruskan perkawinan tersebut, karena yang demikian ini mengandung banyak kebaikan (kaoiron katsiron), berupa pahala yang besar di akhirat kelak atau berupa anak yang bisa menghibur dirinya dari kejelekan akhlak istrinya (lihat tafsir Ar Rozi juz 5 hal. 14, tafsir As Showi juz I hal. 280 dan Rowai’ul Bayan juz I hal 370).

Hukum-hukum Bercerai:
1. Wajib, seperti perceraiannya orang yang sumpah iila’ (bersumpah untuk tidak menggauli istrinya).
2. Sunat, seperti perceraiannya suami yang tidak mampu bersabar terhadap kejelekan akhlak istrinya atau karena istrinya tidak mampu menjaga kehormatan agama dan dirinya (ghoiru ‘afifah), atau suami yang tidak sanggup memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami (Al ‘Ajz Anil Qiyaami bi Huquqiha).
3. Haram, seperti talak yang dijatuhkan pada saat suci oleh seorang suami pada istrinya yang telah dijima’ pada waktu suci tersebut. (lihat Tarsiihul Mustafidin ala hasyiyati fathil mu’in hal:334).

Sebab-sebab Perceraian
Perceraian suami istri itu adakalanya disebabkan oleh masalah intern namun ada pula disebabkan oleh faktor dari luar, ekstern. Perceraian yang disebabkan masalah internal suami-istri itu bisa terjadi, karena beberapa hal, antara lain, pertama, ketidaksetiaan (suami atau istri selingkuh). Kedua, problem ekonomi, karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan istrinya yang di luar batas kemampuannya. Ketiga, istri tidak lagi patuh dan taat pada suami. Keempat, istri tidak lagi memperhatikan urusan rumah tangganya, ia terlalu sibuk dengan kegiatannya di luar rumah sehingga suami dan anak-anaknya terlantar. Kelima, kecemburuan. Sebenarnya ia bisa menjadi bumbu cinta, selama tidak berlebih-lebihan. Sebaliknya bila dilakukan secara berlebih-lebihan akan berakibat mafsadah (kerusakan). Keenam, tidak adanya rasa cinta kasih antara keduanya, sehingga perceraian menjadi sangat sulit untuk dibendung kecuali bagi suami istri yang segera menyadari kesalahan dan segera merubah tindakannya.

Adapun faktor-faktor eksternal itu seperti campur tangan orang tua atau keluarga dalam menentukan kebijakan-kebijakan keluarga yang kadang-kadang bisa mendorong terjadinya perceraian. Namun ancaman perceraian yang disebabkan oleh faktor ini lebih mudah untuk diatasi, karena antara suami istri masih ada kecocokan, selama pihak luar tidak ikut campur tangan yang terlalu dalam terhadap kemelut yang terjadi dan tidak mem-pressure (memberi tekanan) pada pihak-pihak yang bertikai.

Tidak salah bila ada orang yang mengatakan bahwa perkawinan itu ibarat lautan. Bila diamati dari pantai, ia akan nampak indah dan menyenangkan, tapi di tengah laut yang luas, kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan setiap saat siap saja membuyarkan lamunan indah. Ombak, badai, hujan dan serangan hewan laut bisa saja meluluh lantakkan harapan yang kadung terhamparkan. Tapi itu semua itu baru sebuah kemungkinan yang belum tentu menjadi sebuah kenyataan, sehingga tidak perlu takut yang berlebihan. Apalagi sampai menjadi momok dan hantu yang menyeramkan, membuat kita menjadi ketakutan untuk menjalani pernikahan.

Jadi nampaknya benar apa yang dikatakan orang bijak, bahwa bila sudah mempunyai niat untuk menikah, maka jangan hanya melihat gampange (enaknya) saja, tapi lihat juga gampenge. (jurang yang terjal di pinggir gunung), sebab di sana tidak hanya ada seneng (senang) saja, tapi juga ada senepnya (susahnya). Perlu berpikir matang untuk menjalaninya dan perlu kesiapan mental untuk melakoninya. Harus mempertimbangkan untung rugi dan positif negatifnya, sehingga bila sudah dijalani dan ternyata harus berpisah karena beberapa sebab, hendaklah perpisahan itu merupakan pilihan terakhir dan terbaik, yang merupakan hasil dari istikhoroh dan perenungan yang dalam. Sebab, apapun alasannya, perceraian adalah menyakitkan dan sangatlah menyakitkan. Menimbulkan luka yang sangat dalam bagi pelakunya, dan butuh waktu yang panjang untuk menyembuhkan luka dan menghapus traumanya.

Senin, 12 Maret 2012

Status Hukum Anak di luar Nikah

status hukum anak di luar nikah

Anak di luar Nikah

Bismillah, was shalatu was salamu ‘alaa rasulillah
Pergaulan bebas yang semakin liar, telah menjadi musibah terbesar di masyarakat kita. Lebih-lebih ketika lembaga berwenang di tempat Indonesia melegalkan pernikahan antara wanita hamil dengan lelaki yang menghamilinya di luar nikah. Keputusan ini membuka peluang besar bagi para pemuja syahwat untuk menyalurkan hasrat binatangnya atas nama ‘cinta’, ya cinta. Zina dilakukan atas prinsip mau sama mau, suka sama suka, sehingga tidak ada pihak –secara ‘hukum’ masyarakat– yang berada pada posisi dirugikan.
Bagi lelaki, adanya aturan semacam itu merupakan kesempatan besar untuk menyalurkan nafsu binatangnya. Tinggal pihak wanitanya, apakah dia rela membuka pintu ataukah tidak. Ingat, karena tidak ada unsur paksaan di sana. Sehingga, kuncinya ada pada pemilik pintu. Karena itulah, ketika Allah menjelaskan hukum bagi para pezina, Allah mendahulukan penyebutan zaniyah (pezina wanita). Allah berfirman,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali pukulan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)
Al-Qurthubi mengatakan, “Kata “zaniyah” (wanita pezina) lebih didahulukan dalam ayat di atas karena aib perzina itu lebih melekat pada diri wanita. Mengingat mereka seharusnya lebih tertutup dan berusaha menjaga diri, maka para wanita pezina disebutkan lebih awal sebagai bentuk peringatan keras dan perhatian besar bagi mereka.” (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, 12: 160)
Karena itu, wahai para wanita mukminah, wahai para wanita yang memiliki mahkota rasa malu, wahai para pemegang kunci syahwat, peluang terjadinya zina ada di tangan kalian. Janganlah menjadi wanita murahan, yang mudah menyerahkan kunci itu. Kita semua yakin, zina tidak mungkin terjadi sepanjang Anda tidak merelakan kunci itu jatuh ke tangan lelaki buaya. Mereka tidak akan berani merebut paksa kunci itu, sebelum Anda menyerahkannya. Karena semua lelaki tidak ingin disebut sebagai pemerkosa.
Selanjutnya, coba Anda pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini membuat Anda semakin merinding dan takut untuk membuka peluang kesempatan bagi lelaki untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,
ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة
Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”
(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,
ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث
Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)
Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan ke Bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya. Lantas kepada siapa dia di-bin-kan?
Mengingat anak ini tidak punya bapak yang ‘legal’, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat, Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, tidak ada hubungan saling mewarisi.
Tidak ada hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya:
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
Ketiga, siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Dengan demikian, dia memliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak.
b. Hakim (pejabat resmi KUA).
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...