Ads 468x60px

Sabtu, 14 April 2012

Bolehkah Penguburan Jenazah Ditunda?

Pengurusan jenazah hukumnya Fardhu Kifayah, dan anjuran Rasulullah SAW dalam hal ini adalah perlunya mengubur jenazah sesegera mungkin. Namun kadangkala pada praktiknya muncul beberapa masalah karena berkenaan dengan kepentingan studi pelatihan medis untuk operasi bedah, atau untuk penyelidikan hukum seperti penyelidikan terhadap pembunuhan, atau penundaan itu terkait adat masyarakat setempat. Ada kisah lain di beberapa daerah kota Bandung pemandian jenazah ditunda dikarenakan takut munculnya hadats dan najis berkali-kali.

Di dunia kedokteran, lazim dilakukan pengawetan jenazah untuk kepentingan studi, di mana pihak calon mayyit telah berwasiat dan disetujui oleh keluarganya untuk menjadi bahan latihan tenaga medis. Kemudian setelah meninggal dunia jenazahnya tersebut diawetkan dalam batas waktu tertentu untuk bahan latihan para calon dokter.

Setelah digunakan untuk latihan, kemudian mayyit tersebut dirapikan kembali dan dilakukan prosesi penguburan jenazah sebagaimana mestinya menurut ajaran Islam. Dengan deminkian, otomatis hal ini menimbulkan masalah tertundanya penguburan jenazah.

Pertanyaannya, bagaimanakah hukum mengakhirkan penguburan jenazah, baik karena tujuan otopsi, studi dan mensucikan jenazah seperti dalam beberapa kasus di atas? Bolehkan membedah jenazah setelah lama diawetkan untuk kepentingan studi? Berapa lama batas mengakhirkan penguburan jenazah?

Mengakhirkan penguburan jenazah pada dasarnya tidak diperbolehkan kecuali;

(a) untuk mensucikan jenazah berpenyakit menular yang menurut dokter harus ditangani secara khusus;

(b) untuk dilakukan otopsi dalam rangka penegakan hukum;

(c) untuk menunggu kedatangan wali jenazah dan atau menunggu terpenuhinya empat puluh orang yang akan menshalati dengan syarat diberitahukan segera selama tidak dikhawatirkan ada perubahan pada jenazah.

Adapun mengakhirkan penguburan jenazah untuk keperluan studi hanya boleh dilakukan pada jenazah kafir harbi, orang murtad dan zindik. Sementara membedah jenazah setelah lama diawetkan untuk kepentingan studi dibolehkan dalam kondisi darurat atau hajat.

Adapun batas mengakhirkan penguburan jenazah adalah sampai khaufut taghayur (jenazah berubah) atau sampai selesainya kebutuhan di atas.


Wallahu 'alam

Minggu, 08 April 2012

Doa Untuk Orang Hamil Dari Mbah Kyai Kholil Bangkalan

Berikut ini adalah doa-doa yang dianjurkan oleh KH. Kholil Bin Abd. Latif Bangkalan untuk suami istri yang sedang berbahagia menantikan kelahiran putra atau putrinya. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya untuk pasangan yang tengah berbahagia menunggu buah hati tercinta.

Untuk Suami (Suaminya istri yang sedang hamil)

1. الفاتحة الى حضرة النبي المصطفى صلى الله عليه وسلم

2. الفاتحة الى حضرة الشيخ عبد القادر الجيلاني

3. الفاتحة الى حضرة الشيخ كياهي محمد خليل بن عبد اللطيف باغكالن

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَلْيَتَلَطَّفْ × 7

يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبْ ×3

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدَ زَوْجَتِي ............ مِنْ بَطْنِهَا إِلَى خُرُوْجِهِ عَلَى الدُّنْيَا مِنْ مُدَّتِهَا إِلَى 

الاَخِرَةِ وَاشْفِهِ مَعَ أُمِّهِ بِحُرْمَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْتَ شَافِ ِلاَشْفَاءَ اِلاَّ شِفَاءُكَ شِفَاءً عَاجِلاً لاَ يُغَادِرْ سَقَمًا، اَللَّهُمَّ 

صَوِّرْهُ صُوْرَةً حَسَنَةً جَمِيْلَةً وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ اَللَّهُمَّ اَخْرِجْهُ مِنْ بَطْنِهَا 

وَقْتَ وِلاَدَتِهَا سَهْلاً وَسَلِيْمًا كَمَا سَهَّلْتَ سَيِّدَتِنَا اَمِيْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَ وِلاَدَتِهَا وَاجْعَلْهُ سَعِيْدًا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَلاَ تَجْعَلْهُ غَيْبًا وَكَذِيْبًا 

وَخِيَانَةً وَتَقَبَّلْ دُعَائَنَا كَمَا تَقَبَّلْتَ دُعَاءَ نَبِيِّكَ ورَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدَ الَّذِي اَخْرَجْتَ مِنْ عَالَمِ الظُّلْمِ اِلَى عَالِمَ 

النُّوْرِ وَاجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلاً عَاقِلاً لَطِيْفًا اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ شَاهِدًا وَمُبَارَكاً وَعَالِماً وحَافِظًا لِكَلاَمِكَ الْمَكْنُوْنِ وَكِتَابِكَ الْمَحْفُوْظِ اَللَّهُمَّ طَوِّلْ عُمْرَهُ 

وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَاَفْصَحْ لِسَانَهُ لِقِرَاءَةِ القُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَبْرًا مِنَ الْمَرَضِ وَاْلإِنْتِقَامِ وَالْعَطْشِ بِبَرَكَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ 

وَسَلَّمَ وَجَمِيْعِ الاَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالاَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Untuk Istri

1. الفاتحة الى حضرة النبي المصطفى صلى الله عليه وسلم

2. الفاتحة الى حضرة الشيخ عبد القادر الجيلاني

3. الفاتحة الى حضرة الشيخ كياهي محمد خليل بن عبد اللطيف باغكالن
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَلْيَتَلَطَّفْ × 7

يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبْ × 3

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدِيْ مِنْ بَطْنِيْ إِلَى خُرُوْجِهِ عَلَى الدُّنْيَا مِنْ مُدَّتِهَا إِلَى الاَخِرَةِ وَاشْفِهِ مَعِيْ 

بِحُرْمَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْتَ شَافِ ِلاَشْفَاءَ اِلاَّ شِفَاءُكَ شِفَاءً عَاجِلاً لاَ يُغَادِرْ سَقَمًا، اَللَّهُمَّ صَوِّرْهُ صُوْرَةً حَسَنَةً جَمِيْلَةً 

وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ اَللَّهُمَّ اَخْرِجْهُ مِنْ بَطْنِيْ وَقْتَ وِلاَدَتِيْ سَهْلاً وَسَلِيْمًا كَمَا 

سَهَّلْتَ سَيِّدَتِنَا اَمِيْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَ وِلاَدَتِهَا وَاجْعَلْهُ سَعِيْدًا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَلاَ تَجْعَلْهُ غَيْبًا وَكَذِيْبًا وَخِيَانَةً وَتَقَبَّلْ دُعَائَنَا كَمَا تَقَبَّلْتَ 

دُعَاءَ نَبِيِّكَ ورَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدَ الَّذِي اَخْرَجْتَ مِنْ عَالَمِ الظُّلْمِ اِلَى عَالِمَ النُّوْرِ وَاجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلاً 

عَاقِلاً لَطِيْفًا اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ شَاهِدًا وَمُبَارَكاً وَعَالِماً وحَافِظًا لِكَلاَمِكَ الْمَكْنُوْنِ وَكِتَابِكَ الْمَحْفُوْظِ اَللَّهُمَّ طَوِّلْ عُمْرَهُ وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَاَفْصَحْ لِسَانَهُ 

لِقِرَاءَةِ القُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَبْرًا مِنَ الْمَرَضِ وَاْلإِنْتِقَامِ وَالْعَطْشِ بِبَرَكَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَمِيْعِ الاَنْبِيَاءِ 

وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالاَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Wallahu'alam.



http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/doc/290775457611936/ oleh Ust. Imron Rosyadi

Tips Memulai Hidup Baru

Kesalahpahaman, ketidaksesuaian, pertentangan dan pergesekan lain sering terjadi pada keluarga muda. Wajar, karena masing-masing berlatar belakang berbeda. Bagaimana menyelesaikannya?

1. Kenali keluarga

Itulah sebabnya jauh sebelum seorang pemuda berniat mengawini muslimah, Rasulullah berpesan untuk mempelajari bentuk asal usul calon pasangan hidup. Mengenal pribadi-pribadi dalam keluarga si calon, mengenal cara hidup, prinsip hidup, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mentradisi dalam keluarga itu. Bisa jadi, pengenalan terhadap keluarga ini jauh lebih penting daripada kenal terhadap calon pasangan itu sendiri! Tidak percaya?

Ibnu Majah dan Ad-Dhailami meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Pilihlah untuk air mani kamu sekalian, karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya."

Begitu juga Ibnu Adi dan Ibnu Syakir telah meriwayatkan dari Aisyah secara marfu' tentang hadits Rasulullah, "Pilihlah untuk air mani kamu sekalian. Karena sesungguhnya wanita-wanita itu melahirkan orang-orang yang menyerupai saudara laki-laki dan perempuan mereka".

Keluarga, bagi setiap orang adalah lingkungan khusus yang punya ciri khas tersendiri. Ini menyebabkan para anggota keluarga mempunyai kesatuan emosional yang kuat dan jadilah keluarga sebagai sebuah kelompok yang menyenangkan. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalamnya bisa tetap berakar hingga akhir hayat.

Betapa kuat pengaruh lingkungan keluarga, pernah diselidiki oleh para ahli terhadap sebuah keluarga yang punya kebiasaan berbuat jahat, mulai berjudi, mencuri dan merampok. Ternyata sampai tujuh generasi berikutnya, sebagaian besar anggota keluarga mewarisi kebiasaan buruk tersebut. Rata-rata mereka menjadi pejudi,ada yang meneruskan profesi sebagai pencuri dan rampok.

Seorang yang berasal dari keluarga cukup, tentunya terbiasa hidup serba bersih. Ibarat tak ada sehelai rambut pun yang belum tersapu setiap hari di rumahnya. Tak sesudut ruangan pun yang ditata tanpa cita rasa seni. Orang yang seperti ini bisa muntah karena bau kamar mandi yang kehabisan kapur barus, atau ia segera menjadi tak kerasan bila keadaan rumah berantakan.

Sebaliknya, orang yang dibesarkan dalam rumah kecil dengan kehidupn sederhana, sudah terbiasa dengan tali jemuran malang melintang di dalam rumah dengan bau baju yang pengap karena hari hujan. Pakaian pun ditumpuk sekedarnya, karena tak memiliki lemari yang cukup untuk menyimpan pakaian sembilan orang anggota keluarga. Orang dengan kebiasaan hidup seperti ini seringkali tak lagi bisa menghargai keindahan. Bagi mereka, rumah yang bersih dan menawarkan keindahan adalah mubazir. Yang penting rumah bisa berlindung, tempat makan, tidur, itu sudah cukup. Kedua golongan ini akan mempunyai banyak masalah jika bertemu dan menjadi pasangan hidup. Masalah-masalah sepele, tapi karena telah terjadi hampir setiap hari, bisa menjadi besar.

2. Bekas yang hilang

Selain kebiasaan umum yang berlaku dalam sebuah keluarga, ada juga hal-hal khusus yang dialami seseorang di masa kecil yang turut menentukan perkembangan wataknya. Satu misal tentang kedudukannya dalam anggota keluarga. Seorang anak perempuan di antara enam bersaudara kandung laki-laki mungkin akan tumbuh gadis tomboy yang kasar. Si anak sulung tumbuh menjadi orang yang terbiasa kerja keras, misalnya, sementara si bungsu bisa jadi terbiasa dilayani.

Ada juga peristiwa-peristiwa khusus yang menimbulkan pengaruh besar atau bahkan trauma, sehingga membekaskan satu sifat khas, ada istri yang sulit untuk bisa mempercayai suaminya. Segala tindakan suami ditanggapi penuh kecurigaan dan prasangka buruk. Ternyata istri ini mempunyai pengalaman buruk terhadap ayahnya di masa kecil. Sebelum kedua orang tuanya bercerai, selama bertahun-tahun ia menyaksikan bagaimana ayahnya sering marah-marah, menampar, memukul ibu di depan matanya, hanya karena persoalan-persoalan kecil.

Seorang anak yang menderita sakit parah hingga bertahun-tahun di masa kecil, menjadi terbiasa dilindungi dan dilayani oleh kakak-kakak dan orang tuanya. Ketika dewasa ia tetap meminta hampir setiap orang untuk melayani dan menyenangkan dirinya. Ia tumbuh menjadi orang yang tak mau tahu perasaaan orang lain.

3. Saling pengertian

Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ini adalah prinsip utama dalam hidup bersuami istri. Saling memahami kekurangan masing-masing, saling tenggang rasa dan penuh pengertian, tidak membesar-besarkan kekurangan pasangan hidupnya. Sebaliknya, berusaha memahami dan menutup mata terhadap kekurangan teman hidup itu, sambil terus mencari-cari kelebihannya, memperhatikan dan memikirkan segi-segi baiknya.

Janganlah terlalu menuntut suami atau istri untuk mau mengubah sifat dan kebiasaan hidupnya. Apalagi jika sifat dan kebiasaan itu bentukan dari keluarga semenjak masa kecil. Dapat diibaratkan dengan sebuah revolusi besar dan butuh proses amat panjang.

Kunci penting lainnya dalam masalah ini adalah keterbukaan antara suami dan istri. Suami harus tahu sifat-sifat mana saja darinya yang tak disukai istri. Begitu juga sebaiknya, jangan sampai ada ketidaksenangan yang mengganjal di hati. Selanjutnya, saling memahami dan mau mengerti kekurangan masing-masing. Lebih baik lagi jika ada keinginan untuk mau sedikit menyesuaikan diri.

Mengharap memperoleh pasangan yang sempurna tidaklah mungkin ada. Mencari yang sesuai sifat dan kebiasaan pun teramat sulit. Jauh lebih penting mencari pasangan yang seide, seaqidah, karena di sanalah pokok dari segala permasalahan. Jika pokoknya sudah sama, persoalan-persoalan selanjutnya bisalah diatasi. Tapi jika pokoknya saja sudah bertentangan, ikatan kebahagiaan mudah sekali goyah.

Nasihat terakhir bagi segenap insan yang telah menikah, kesiapan anda untuk berkerluarga sama artinya dengan kesiapan untuk berkorban, lebih mementingkan kepentingan keluarga baru daripada kepentingan pribadi. Bersiaplah untuk mengubah diri, sifat, dan kebiasaan lama, untuk disesuaikan dengan kebutuhan keluarga baru anda. Kemudian bersama istri dan anak-anak, menentukan sebuah langkah baru, sifat, dan kebiasaan kekeluargaan yang islami.
 

Jumat, 06 April 2012

Perkawinan Dan Keluarga Dalam Hukum Positif

Perkawinan (baca: pernikahan) menurut pengertiannya sangatlah sederhana. Yaitu aqdun yatadhammanu ibâhata wath'in bi lafdzi inkâhin aw tazwîjin aw tarjamatihi, yang diartikan sebagai akad yang mengandung kebolehan wathi (hubungan badan) dengan mengucapkan lapal inkâh, tajwîj, atau terjemahannya. Jadi, dengan hanya mengucapkan kata-kata yang bermakna menikahi atau mengawini, dan telah terpenuhinya syarat dan rukun yang ditentukan, pernikahan telah menjadi sah.
Namun, ternyata pernikahan yang sah menurut agama dan tidak tercatat secara legal menurut hukum positif, membuka kemungkinan munculnya masalah di kemudian hari. Untuk menghindari berbagai masalah yang muncul di kemudian hari, maka Pemerintah mengaturnya dalam berbagai aturan hokum positif. Di antaranya:
  1. UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. PP Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. KMA Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah dan Rujuk
  4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nomor: DJ.II/491 Tahun 2009
Pada praktiknya, upaya menghindari munculnya berbagai problem yang dapat merusak harmoni hubungan keluarga, maka dilakukan penasihatan, pembinaan, dan pemeliharaan perkawinan melalui lembaga BP4. Pembinaan tersebut dilakukan oleh pengurus BP4 atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallâhu a'lam bi al-Shawâb.

BATAS MINIMAL USIA NIKAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974


Islam tidak menetapkan usia nikah. Tapi, kemudian kalangan ulama menganggap perlu menetapkannya untuk menjaga nilai perkawinan itu sendiri.
Sayyidah Aisyah RA Ummul Mukminin pernah bercerita tentang perkawinannya. “Aku dinikahkan dengan Rasulullah saat usiaku enam tahun. Dan aku memasuki gerbang rumah tangga pada usia Sembilan tahun”. Dalam hadis lain disebutkan, dinikahkan pada usia tujuh tahun. Pengakuan Sayyidah Aisyah ini serta tradisi perkawinan di kalangan muslim awal menyatakan bahwa perkawinan di masa itu banyak terjadi saat si wanita masih bocah.
Dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah pernah menikahkan anak Hamzah (pamannya) dengan anak Ummu Salimah yang keduanya masih ingusan. Pernah juga seorang memberikan anak puterinya yang masih kanak-kanak untuk dinikahi Abdullah bin AL-Hasan bin Ali yang masih cucu Rasulullah SAW. Sayyidina Ali kala itu mengizinkannya. Salah seorang istri Ibnu Mas’ud yang memiliki anak wanita yang masih kecil juga dinikahkan dengan Ibnul Musayyab bin Nukhbah dan Abdullah bin Mas’ud mengizinkannya.
Manfaat perkawinan dalam usia kecil antara lain orang tua bisa menentukan pasangan yang sesuai dan ideal (kufu). Kekurangannya wanita tak memiliki hak pilih. Ketika tiba masa akil balignya, ia harus menerima kenyataan pasangan yang telah dijodohkan.
Kalangan ahli fikih selanjutnya juga tak mempermasalahkan perkawinan anak-anak itu. Walaupun pada intinya pelaksanaan berumah tangga akan dimulai setelah keduanya telah akil baliug. Dalam pengakuan Sayyidah Aisyah menyiratkan hal demikian. Ia dinikahkan pada saat usia enam tahun yang belum akil balig dan kemudian memadu rumahtangga setelah akil balig pada usia Sembilan tahun.
Kalangan Mazhab Maiki dan Hanbali menyatakan hak ayah untuk menikahkan anaknya meskipun masih dalam usia anak-anak. Jika tak ada ayah, boleh juga dilakukan oleh orang yang menerima wasiat dari ayah, atau hakim yang menikahkan. Mazhab Hanafi memperbolehkan ayah dan kakek dari ayah serta wali-wali lainnya menikahkan. Karena menurut pandangan Mazhab Hanafi tak ada perbedaan persyaratan dalam menikahkan anak. Sementara Imam Syafi’i hanya memperbolehkan menikahkan anak kecil terbatas kepada ayah dan kakeknya saja. Pembatasan perwalia ini agar tidak terjadi kesema-menaan terhadap wanita yang tak berdaya oleh wali-wali lainnya. Sementara ayah pada intinya tidak akan menjerumuskan anak kandungnya. Imam Ibnu Hazm (Mazhab Dzahiri) membolehkan wanita kecil dinikahkan, ia melarang menikahkan laki-laki yang masih kecil.
Namun, bagaimanapun kalangan ahli fikih sepakat bahwa perkawinan anak-anak harus didasarkann pada kufu (seimbang dan ideal) dan mahar mitsil (maskawin standar). Hal ini mengacu pada pendapat Imam Abu Yusuf Muhammad. Smentara Imam Syafi’I menetapka syarat yang lebih luas lagi.
Pertama, antara pengantin laki-laki dan wanita tak memiliki hubungan permusuhan (‘adawah zahirah). Kedua, perjodohan tersebut kufu. Ketiga, maskawin standar. Keemat, maskawin diberikan dengan mata uang negeri (naqdul balad) yang berlaku. Kelima, pengantin laki-laki memiliki kemampuan membayar maskawin. Keenam, pengantin laki-laki tidak cacat tetap yang merugikan pihak wanita, seperti kondisi buta, atau laki-laki tua renta. Ketujuh, pengantin pria tidak dalam kondisi wajib haji namun tertunda.
Yang dikecualikan dalam kasus ini adalah anak kecil yang berstatus yatim. Wanita yatim harus seizing dirinya. Dalam hadis riwayat Imam Akhmad dijelaskan bahwa suatu hari Ibnu Umar melapor kepada Rasulullah SAW bahwa bahwa Qudamah bin Madh’un menikahkan anak Usman yang berstatus yatim dengan dirinya. Rasulullah lantas menjawab: “Dia seorang yatim dan tidak bisa dinikahi tanpa izin dan persetujuannya”. Dalam hadis Abu Daud dan Nasai disebutkan bahwa Rasullah bersabda : “Anak yatim itu menguasai dirinyaa. Jika dia diam maka itu adalah izinnya. Jika ia menolak maka tidak boleh memaksanya”. Dan pengertian yatim dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis Abu Daud dengan sabdanya: “Tidak ada lagi status yatim setelah akil balig”. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Nawawi.
Namun, perkembangan kemudian membuat kalangan ulama pada fase berikutnya mulai menerapkan pandangan lain. Menurut Syaikh Dr. Wahbab Azzuhaily dalam Alfiqhul Islami wa Adillatuhu, Imam Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Usman Al-Batti melarang perkawinan anak-anak kecuali hingga pada usia akil balig. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surah Annisa ayat 5 “Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka cukup umur untuk menikah”.
Sebab, menurut tiga ulama besar fikih ini, jika saja diperbolehkan perkawinan anak kecil toh juga tak ada gunanya. Sebab, anak-anak yang belum usia balig belum membutuhkan perkawinan.
Beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, seperti Indonesia, Mesir dan Syuriah telah menetapkan batas usia perkawinan dengan tujuan maslahah dan kepentingan umum.
Undang-undang perkawinan syuriah misalnya menetapkan dalam Madah (pasal) 15 bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan oleh pasangan yang sudah akil balig dan berakal (tidak gila). Kalangan ahli fikih modern dengan mengacu berbagai hal, memandang perlu membatasi usia perkawinan tidak hanya pada usia balig (sinnur bulugh) tapi, usia kelayakan (sinnur rusyd). Pada pasal 16 UU Syuriah tersebut dijelaskan bahwa usia kelayakan itu adalah 18 tahun bagi laki-laki  engan kalender masehi dan usia kelayakan wanita yaitu 17 tahun.
Tapi, UU itu bukan harga mati. Dalam oasal 18 dijelaskan bahwa jika laki-laki sudah akil balig pada usia 15 tahun dan wanita pada usia 13 tahun kemudian merancang perkawinan, maka perkawinan bisa dilaksanakan jika pengadilan mengizinkannya.
D i masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga.
Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup.
 "Cari pasangan ya lihat pribadinya dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting ya cinta dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja sih pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi . Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi. Akan tetapi Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.

6 PILAR YANG DIBUTUHKAN
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit. Berikut di antaranya:
1. Latar belakang keluarga
Tak bisa dipungkiri, latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
2. Kesetaraan
Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3. Karakteristik individu
Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
4. Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya.
Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!
5. Kematangan dan motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6. Partnership
Pilar rumah tangga berikutnya adalah partnership  alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
BILA TERJADI KEPINCANGAN
Idealnya, ucap Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada 'usaha' dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...