Ads 468x60px

Selasa, 17 Desember 2013

Per 1 Januari 2014, Nikah harus di KUA Kecamatan


PAMARICAN, Maraknya pemberitaan di berbagai media tentang dugaan adanya gratifikasi atau pemberian uang di luar ketentuan terhadap para penghulu nikah, membuat para penghulu gerah, lebih-lebih setelah adanya berita penangkapan kepala KUA Kota Kediri.  maka mereka sepakat per 1 Januari 2014 nanti seluruh aktivitas pernikahan harus dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA). Artinya, sudah tidak ada lagi pernikahan yang dilakukan di rumah dengan mengundang penghulu. Terlepas acara resepsi dilakukan di rumah atau di gedung, tetap saja ijab kabul dan pencatatan nikah digelar di KUA.
Hal itu sesuai dengan hasil kesepakatan Asosiasi Penghulu se-Indonesia. Kesepakatan itu diambil dalam pertemuan ratusan penghulu di Islamic Centre Kabupaten Cirebon, Senin (9/12). ‘’Keputusan ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2014,’’ ujar perwakilan penghulu dari Jatim, Wagimun AW.  Hasil kesepakatan ini juga  akan diikuti oleh para penghulu di kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis.
Selain pelayanan nikah harus di KUA, kesepakatan ini pun me­ngatur waktu nikah yang hanya dilaksanakan pada hari serta jam kerja saja. Ini berarti, pelayanan nikah tidak bisa dilakukan pada akhir pekan, Sab­tu dan Minggu, seperti yang telah lazim pada masyarakat  kecamatan Pamarican dan sekitarnya.
Menurut Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamarican, Drs. H. YAYAN IKWANA, pelayanan nikah yang harus dilakukan pada hari kerja dan di KUA setempat. Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya kami mendukung Program Pemerintah tentang Penuntasan Tindak Pidana Korupsi.  Selain itu juga untuk menghindari dugaaan adanya gratifikasi yang diterima para penghulu. Sebab sejumlah pi­hak menuding ada dugaan jika biaya nikah cukup mahal dan mencapai ratusan ribu rupiah, padahal dalam peraturannya hanya sebesar Rp 30.000. Se­hingga bila merujuk kepada per­aturan, maka lokasi dan wak­tu nikah pun sesuai dengan peraturan.
“Karena ditakutkan ada istilah gratifikasi bagi penghulu nikah, maka mulai 1 Janiari 2014 nanti pelaksanaaan per­nikahan dilakukan di KUA dan hanya pada jam kerja saja. Itu merupakan hasil kesepakatan Asosiasi Penghulu se-Indonesia, dan kecamatan Pamarican  mengikutinya,” jelas Pa Yayan pada Rapat P3N Se-Kecamatan Pamarican  (12/12/­2013).
Menurutnya, langkah ini diambil para penghulu sebelum pemerintah mengeluarkan re­gu­lasi dan peraturan yang jelas, baik dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) atau Peratur­an Pemerintah sebagai payung hukum mereka.
Adanya dugaan gratifikasi telah mencoreng profesi peng­hulu dan institusi Kementerian Agama. Padahal, tidak ada istilah gratifi­kasi bagi para penghulu, mela­in­kan kearifan lokal untuk mem­beri lebih kepada penghulu dari biaya yang telah ditentukan pemerintah.
Meski telah jelas dalam peraturannya bahwa tarif nikah se­besar Rp 30.000, namun diakui bila di sejumlah tempat tarifnya mencapai ratusan ribu rupiah. Hal itu karena dalam kepengurusan nikah dilakukan oleh amil sebagai pembantu penghulu yang telah dipercaya oleh Pemerintah Desa untuk mengurusnya. Sehingga dalam tarif nikah pun bervariasi di setiap tempat.
Untuk lebih menghemat bia­ya nikah, maka pa YAYAN  mempersilakan bagi calon pengantin mengurus administrasinya sendiri ke KUA. Dengan begitu mereka bisa terbebas dari campur tangan pihak amil.
“Sampai akhir tahun 2013 masih bisa dilakukan di rumah dengan mengundang penghulu ke sana. Namun nanti sudah ti­dak bisa karena penghulu meminta dilakukan di KUA setempat,” tambahnya

Dikutip : dari berbagai Sumber

Sabtu, 16 November 2013

Hakikat Ijab Qobul Akad Nikah


Saya Terima Nikahnya si dia binti ayah si dia dengan Mas Kawinnya.....DiBayaaaar Kontaaan.
Singkat, padat dan jelas..
Tapi tahukan makna PERJANJIAN/IKRAR tersebut..??
Maka aku tanggung dosa2nya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yg telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat..
Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak2ku..
Jika aku GAGAL..??
Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku..
(HR. Muslim)
Duhai para istri :
Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu, karena saat Ijab terucap, Arsy-NYA berguncang karena beratnya perjanjian yang di buat olehnya di depan ALLAH dengan di saksikan para malaikat dan manusia..
Maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu..
Maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu, SubhanALLAH..

Dikutip dari : https://www.facebook.com/

Jumat, 15 November 2013

Tips memilih wanita yang ideal untuk dinikahi

Nabi Saw. bersabda: “Dunia laksana perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah.” Dalam riwayat yang lain: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang dapat membantu suaminya dalam urusan akhirat.”

Nabi Saw. bersabda: “Setelah takwa kepada Allah, seorang mukmin tidak bisa mengambil manfaat yang lebih baik dibanding istri yang shalehah dan cantik yang:
  1. Jika suaminya memerintahkan sesuatu kepadanya dia selalu taat.
  2. Jika suaminya memandangnya dia menyenangkan.
  3. Jika suaminya menyumpahinya dia selalu memperbaiki dirinya.
  4. Dan jika suaminya meninggalkannya (bepergian) dia pun selalu menjaga diri dan harta suaminya.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
  1. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita hanya karena memandang kemuliaan derajatnya, maka Allah Swt. tidak akan menambah baginya kecuali kehinaan.
  2. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita hanya karena memandang hartanya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kefakiran.
  3. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita karena kecantikannya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kerendahan.
  4. Dan barangsiapa menikah dengan sorang wanita tanpa tujuan lain kecuali agar dia lebih mampu meredam gejolak pandangannya dan lebih dapat memelihara kesucian seksualnya dari perbuatan zina atau dia hanya ingin menyambung ikatan kekeluargaan, maka Allah Swt. akan selalu memberkahinya bagi istrinya.

Sedangkan seorang hamba sahaya yang jelek rupa dan hitam kulitnya, namun kuat imannya adalah lebih utama.”. Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak dan mampu untuk mengawinkannya, namun dia tidak mau mengawinkannya. Kemudian anaknya berbuat zina, maka keduanya berdosa.”

Nabi Saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaklah kamu menikah dengan wanita yang kuat agamanya agar kamu memperoleh kebahagiaan.”

Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa ingin menghadap ke haribaan Allah dalam keadaan suci dan disucikan, maka kawinlah dengan wanita yang merdeka.”

Nabi Saw. bersabda: “Ada 4 resep kebahagiaan bagi seseorang yaitu
  1. Istrinya adalah wanita shalehah.
  2. Putra-putrinya baik-baik.
  3. Pergaulannya bersama orang-orang shaleh.
  4. Rizkinya diperoleh dari negeri sendiri.

Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita dari umatku ialah yang berwajah ceria dan sedikit maharnya". Nabi Saw. bersabda: “Kawinlah kalian dengan wanita yang periang dan banyak anaknya. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi terdahulu kelak pada hari kiamat.”

Nabi Saw. bersabda kepada Zaid bin Tsabit: “Hai Zaid, apakah engkau sudah kawin?”

Zaid menjawab: “Belum.”

Nabi Saw. bersabda: “Kawinlah, maka engkau akan selalu terjaga sebagaimana engkau menjaga diri. Dan janganlah sekali-kali kawin dengan lima golongan wanita.”

Zaid bertanya: “Siapakah mereka ya Rasulullah?”

Rasulullah Saw. menjawab: “Mereka adalah: syahbarah, lahbarah, nahbarah, handarah dan lafut.”

Zaid berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mengerti apa yang engkau katakan.”

Maka Nabi Saw. menjelaskan:
  1. Syahbarah ialah wanita yang bermata abu-abu dan jelek tutur katanya.
  2. Lahbarah ialah wanita yang tinggi dan kurus.
  3. Nahbarah ialah wanita tua yang senang membelakangi suaminya (ketika tidur).
  4. Handarah ialah wanita yang cebol dan tercela.
  5. Lafut ialah wanita yang melahirkan anak dari laki-laki selain kamu.”
Satu riwayat menceritakan: “Seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, aku menemukan seorang wanita yang baik dan cantik, tetapi dia mandul. Apakah aku boleh mengawininya?”

Nabi Saw. menjawab: “Jangan.”

Kemudian dia datang lagi kepada Rasulullah untuk kedua kalinya. Nabi Saw. tetap melarangnya. Dia pun datang lagi untuk ketiga kalinya. Nabi Saw. pun tetap melarangnya menikahi wanita itu, dan beliau Saw. bersabda: “Kawinlah kalian dengan wanita yang selalu menyenangkan hati dan banyak anaknya. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah keturunan kalian.”
Oleh : Sya'roni As-Samfury
Sumber : Kitab Qurrat al-'Uyun Syarh Nadzm Ibnu Yamun

Kamis, 09 Mei 2013

KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :


MENIMBANG:

a. bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;
b. bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
d. bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.


MENGINGAT


1. Firman Allah SWT:
a. Firman Allah yang mengatur nasab, antara lain :

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah danadalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).

b. Firman Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina, antara lain:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).

وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)

c. Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan, antara lain:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5)

وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ

“.... (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS. Al-Nisa: 23).

d. Firman Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)


2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

a. hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. رواه البخارى ومسلم

Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، إن فلانًا ابني، عَاهَرْتُ بأمه في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا دعوة في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر. رواه أبو داود

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)

b. hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:

قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود

Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)

c. hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث " رواه الترمذى - سنن الترمذى 1717

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)

d. hadis yang menerangkan larangan berzina, antara lain:

‏عن ‏أبي مرزوق رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قال ‏غزونا مع ‏‏رويفع بن ثابت الأنصاري ‏ ‏قرية من قرى ‏‏المغرب ‏يقال لها ‏ ‏جربة ‏ ‏فقام فينا خطيبا فقال أيها الناس إني لا أقول فيكم إلا ما سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول قام فينا يوم ‏ ‏حنين ‏ ‏فقال ‏ ‏لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره . أخرجه الإمام أحمد و أبو داود

Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)

e. hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa, antara lain:

‏عن ‏أبي هريرة ‏رضي الله عنه قال ‏‏قال النبي ‏صلى الله عليه وسلم ‏كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه . رواه البخارى ومسلم

Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi.(HR al-Bukhari dan Muslim)

3. Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.

وأجمعت الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها صلى الله عليه وسلم، وجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان

Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.

Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:

وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه

Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
4. Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam “al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.
5. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.
6. Qaidah ushuliyyah :

الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه

“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”

لا اجتهاد في مورد النص

“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”

7. Qaidah fiqhiyyah :

لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ

“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju"

الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ

“Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.

الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ

“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.

يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ

“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”

إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ

“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”

MEMPERHATIKAN :

1. Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut:

a. Ibn Hajar al-‘Asqalani:

نقل عن الشافعي أنه قال: لقوله “الولد للفراش” معنيان: أحدهما
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”

Diriwayatkan dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami “ .

Pertama : Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.

Kedua : Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat orang yang telah berputus asa dari harapan.
Ada yang berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (mukhsan atau bukan mukhsan).

b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut:

ولد الزنا لا ينسب لأب وإنما ينسب لأمه

Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.

c. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :

والولد يلحق بالمرأة إذا زنت و حملت به ولا يلحق بالرجل

Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.

2. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:

وَيَرِثُ وَلَدُ الزِّنَا وَاللِّعَانِ مِنْ جِهَةِ الأمِّ فَقَطْ ؛ لأنَّ نَسَبَهُ مِنْ جِهَةِ الأبِ مُنْقَطِعٌ فَلا يَرِثُ بِهِ وَمِنْ جِهَةِ الأمِّ ثَابِتٌ فَيَرِثُ بِهِ أُمَّهُ وَأُخْتَه مِنْ الأمِّ بِالْفَرْضِ لا غَيْرُ وَكَذَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَأُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ فَرْضًا لا غَيْرُ

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.

3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :

ويرث ولد الزنا واللعان بجهة الأم فقط لما قد مناه فى العصبات أنه لا أب لهما

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.

4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي اسْتِلْحَاقِ وَلَدِ الزِّنَا إذَا لَمْ يَكُنْ فِرَاشًا ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ .كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ { صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَلْحَقَ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ ، وَكَانَ قَدْ أَحْبَلَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَاخْتَصَمَ فِيهِ سَعْدٌ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ ، فَقَالَ سَعْدٌ : ابْنُ أَخِي .عَهِدَ إلَيَّ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ هَذَا ابْنِي . فَقَالَ عَبْدٌ : أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي ؛ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ؛ احْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ } لَمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ الْبَيِّنِ بِعُتْبَةَ ، فَجَعَلَهُ أَخَاهَا فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْحُرْمَةِ

Para ulama berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.

5. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.

6. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA

Pertama: Ketentuan Umum

Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah(tindak pidana kejahatan).
Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.

Kedua: Ketentuan Hukum

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan

mewajibkannya untuk:

a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.

2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.

Keempat: Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal:
18 Rabi’ul Akhir1433 H
10 M a r e t 2012 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua

ROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA

Sekretaris

DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Jumat, 04 Januari 2013

Solusi Soal Pungli di KUA: Tetapkan Tarif atau Beri Insentif

Jakarta(Pinmas)—Kementerian Agama (Kemenag) sudah menginventaris jalan keluar atas keluhan warga tentang pungutan liar di Kantor Urusan Agama (KUA). Ada 8 jalan keluar, namun yang paling mungkin dilakukan adalah menetapkan tarif yang sesuai dengan tempat pernikahan atau memberikan petugas KUA insentif.
“Kami sudah menyiapkan dengan Bimas Islam dan Itjen yang terkait dengan usaha mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Ada delapan alternatif yang disiapkan, termasuk yang disampaikan oleh Pak Menteri, kawin di kantor saja pada hari kerja, tapi kan itu ekstrem,” jelas Irjen Kemenag M Jasin.
Jasin menyampaikan hal itu dalam jumpa pers peresmian Gedung Itjen Kemenag di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat (4/1/2013).
Namun, Kemenag ingin mengambil opsi yang paling berpihak di masyarakat. Jadi dari 8 solusi yang diusulkan, 2 di antaranya yang paling mungkin dilakukan.
“Usulan ketujuh tidak usah mengubah PP Penerimaan Negara Bukan Pajak, biaya pernikahan tetap Rp 30 ribu apabila di kantor (KUA). Apabila nikah di luar kantor dibiayai Rp 110 ribu, ditambah jasa profesi Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu, jadi tidak genap Rp 500 ribu. Jadi misalkan dia selain menikahkan, diminta ceramah juga, ngisi pengajian juga, jadi bisa diberikan uang jasa profesi Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu,” jelas mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Sedangkan usulan solusi yang kedelapan, imbuh Jasin, adalah membebaskan biaya administrasi pernikahan di KUA. Sebagai gantinya, Kemenag akan memberikan insentif petugas KUA yang bekerja di hari libur. Jadi biaya pernikahan ditanggung APBN.
“Rp 30 ribu itu dibebaskan saja, ini menunjukkan niat Kemenag dalam hal keberpihakan kepada publik. Lalu atas biaya penghulu di luar hari kerja, dari pemerintah Rp 110 ribu wilayah Jawa, kemudian ada real cost, khususnya di pegunungan dan kepulauan yang harus nyebrang laut, kita sudah memantau di 227 KUA, ada yang satu KUA ini lingkup kerjanya 120 km,” jelasnya.
Jasin memaparkan, skemanya insentif di Pulau Jawa di luar kantor dan hari libur Rp 110 ribu. Sedangkan di luar Jawa, ditambah real cost, alias biaya transportasi yang sesungguhnya.
“Kalau real cost-nya Rp 200 ribu, jadi tinggal ditambah Rp 90 ribu (dari Rp 110 ribu + Rp 90 ribu) Mudah-mudahan ini bisa ditalangi oleh APBN. Dengan hitung-hitungan tadi kalau ada sekitar 2,5 juta pernikahan, asumsinya butuh Rp 1 triliun. Ini yang sedang kita pikirkan, kalau masuk APBNP alasannya juga saya rasa kurang, karena tidak mudah untuk masuk ke APBNP. Kalau Pak Menteri punya kebijakan menggeser (anggaran) dari direktorat lain, saya rasa bisa mengcover 80 persen, ini hanya mimpi saya,” harap mantan Wakil Ketua KPK ini.(detik.com)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...